Kesalahan dalam Bersedekah

Kesalahan dalam Bersedekah - Hallo sahabat Kabar Muslim Islam, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kesalahan dalam Bersedekah, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, Artikel Fenomena, Artikel Hari Ini, Artikel Islam, Artikel Islami, Artikel Kabar, Artikel Muslim, Artikel Ragam, Artikel Terbaru, Artikel Unik, Artikel Update, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Kesalahan dalam Bersedekah
link : Kesalahan dalam Bersedekah

Baca juga


Kesalahan dalam Bersedekah

Kesalahan dalam Bersedekah

Ada beberapa kesalahan ketika bersedekah yang bisa menjadikan amalan kita sia-sia. Apa saja kesalahan tersebut?


1- Bersedekah Tidak Ikhlas, Atas Riya’ Dan Sum’ah

Di antara yang membuat sedekah tidak diterima adalah sedekah yang dilakukan tidak ikhlas. Ada yang bersedekah namun ingin disebut sebagai orang yang dermawan atau ingin cari pujian tinggi. Padahal amalan yang diterima adalah amalan yang ikhlas karena Allah. Karena sedekah adalah ibadah yang mulia. Jika tidak dimurnikan ibadah tersebut hanya untuk Allah, maka ibadah tersebut jadi sia-sia.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (artinya: ikhlas) dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS. Al Bayyinah: 5).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang bahaya riya’ (gila pujian) bahwasanya amalan pelaku riya’ tidaklah dipedulikan oleh Allah. Dalam hadits qudsi disebutkan,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (artinya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya” (HR. Muslim no. 2985).

Imam Nawawi rahimahullah menuturkan, “Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa” (Syarh Shahih Muslim, 18: 115).

Ibnul Qayyim dalam Al Fawaid mengatakan, “Tidak mungkin dalam hati seseorang menyatu antara ikhlas dan mengharap pujian serta tamak pada sanjungan manusia kecuali bagaikan air dan api.”

Seperti kita ketahui bahwa air dan api tidak mungkin saling bersatu, bahkan keduanya pasti akan saling membinasakan. Demikianlah ikhlas dan pujian, sama sekali tidak akan menyatu. Mengharapkan pujian dari manusia dalam amalan pertanda tidak ikhlas.

Ada yang menanyakan pada Yahya bin Mu’adz, “Kapan seorang hamba disebut berbuat ikhlas?” “Jika keadaanya mirip dengan anak yang menyusui. Cobalah lihat anak tersebut dia tidak lagi peduli jika ada yang memuji atau mencelanya”, jawab Yahya.

Muhammad bin Syadzan berkata, “Hati-hatilah ketamakan ingin mencari kedudukan mulia di sisi Allah, namun di sisi lain masih mencari pujian dari manusia”. Maksud beliau adalah ikhlas tidaklah bisa digabungkan dengan selalu mengharap pujian manusia dalam beramal.

Ada yang berkata pada Dzun Nuun Al Mishri rahimahullah, “Kapan seorang hamba bisa mengetahui dirinya itu ikhlas?” “Jika ia telah mencurahkan segala usahanya untuk melakukan ketaatan dan ia tidak gila pujian manusia”, jawab Dzun Nuun.[1]


2- Bersedekah Hanya Untuk Mendapatkan Ganti Di Dunia

Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16)

Dalam ayat lain disebutkan,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ نزدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ

“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa: 20)

Ats Tsauri berkata, dari Mughiroh, dari Abul ‘Aliyah, dari Ubay bin Ka’ab -radhiyallahu ‘anhu-, beliau mengatakan,

بَشِّرْ هَذِهَ الأُمَّةُ بِالسِّنَاءِ وَالرِّفْعَةِ وَالدِّيْنِ وَالتَّمْكِيْنِ فِي الأَرْضِ فَمَنْ عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الآخِرَةِ لِلدُّنْيا لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيْبٍ

“Berilah kabar gembira pada umat ini dengan kemuliaan, kedudukan, agama dan kekuatan di muka bumi. Barangsiapa dari umat ini yang melakukan amalan akhirat untuk meraih dunia, maka di akhirat dia tidak mendapatkan satu bagian pun.” (HR. Ahmad 5: 134. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Qotadah mengatakan, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash dalam beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan balasan di dunia juga dia akan mendapatkan balasan di akhirat.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, tafsir surat Hud ayat 15-16)

Niat seseorang ketika beramal ada beberapa macam:

a- Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, maka orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.

b- Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.

c- Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid karya Syaikh As Sa’di, hal. 132-133)

Adapun amalan yang seseorang lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:

a- Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan.

Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.

b- Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari no. 5986 dan Muslim no. 2557)

Jika seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlas, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini.


3- Mengungkit-ungkit Sedekah Dan Menyakiti Penerimanya

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” (QS. Al Baqarah: 264).

Ibnu Katsir menjelaskan, “Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa sedekah menjadi sia-sia hanya karena si pemberi mengungkit-ungkit sedekah yang telah ia beri dan ia menyakiti yang menerima. Seseorang tidak mendapatkan pahala sedekah akibat melakukan dua kesalahan tersebut.”

Dalam hadits disebutkan pula,

عَنْ أَبِى ذَرٍّ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ » قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَ مِرَارٍ. قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ ».

“Dari Abu Dzar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ada tiga orang yang pada hari kiamat tidak akan diajak bicara, tidak dilihat dan tidak disucikan serta baginya siksa yang pedih.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya sampai tiga kali. Abu Dzar berkata, “Mereka sengsara dan merugi. Lantas siapakah mereka wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Lelaki yang berpakaian isbal (menjulurkan celana di bawah mata kaki), orang yang mengungkit-ungkit kebaikannya setelah memberi, serta orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah yang palsu.” (HR. Muslim no. 106).

Kesalahan dalam Bersedekah

4- Tidak Merahasiakan Sedekah

Allah Ta’ala berfirman,

إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah: 271).

Syaikh As Sa’di ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “Jika sedekah tersebut ditampakkan dengan tetap niatan untuk meraih wajah Allah, maka itu baik. Dan seperti itu sudah mencapai maksud bersedekah. Namun jika dilakukan secara sembunyi-sembunyi, maka itu lebih baik. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa sedekah yang dilakukan sembunyi-sembunyi lebih utama daripada dilakukan secara terang-terangan. Namun jika tidak sampai bersedekah karena ia maksud sembunyikan, maka tetap menyampaikan sedekah tadi secara terang-terangan itu lebih baik. Jadi semuanya dilakukan dengan kembali melihat maslahat.”

Kata Ibnu Katsir berkata bahwa tetap bersedekah dengan sembunyi-sembunyi itu lebih afdhol karena berdasarkan hadits,

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: اْلإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ، وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dengan naungan ‘Arsy-Nya pada hari di mana tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya semata,

1- Imam (pemimpin) yang adil.

2- Pemuda yang tumbuh besar dalam beribadah kepada Rabbnya.

3- Seseorang yang hatinya senantiasa terpaut pada masjid.

4- Dua orang yang saling mencintai karena Allah, di mana keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah.

5- Dan seorang laki-laki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang berkedudukan lagi cantik rupawan, lalu ia mengatakan, “Sungguh aku takut kepada Allah.”

6- Seseorang yang bersedekah lalu merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya.

7- Dan orang yang berdzikir kepada Allah di waktu sunyi, lalu berlinanglah air matanya.” (HR. Bukhari no. 660 dan Muslim no. 1031).

Hadits di atas menunjukkan bahwa keutamaan sedekah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Para ulama mengatakan bahwa inilah yang berlaku pada sedekah sunnah, secara sembunyi-sembunyi itu lebih utama. Cara seperti itu lebih dekat pada ikhlas dan jauh dari riya’. Adapun zakat wajib, dilakukan secara terang-terangan itu lebih afdhol. Demikian pula shalat, shalat wajib dilakukan terang-terangan, sedangkan shalat sunnah lebih afdhol sembunyi-sembunyi karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat wajib.”

Para ulama katakan bahwa penyebutan tangan dan kiri di sini hanyalah ibarat yang menggambarkan sedekahnya benar-benar dilakukan secara diam-diam. Tangan kanan dan kiri, kita tahu begitu dekat dan selalu bersama. Ini ibarat bahwa sedekah tersebut dilakuan secara sembunyi-sembunyi. Demikian kata Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.


5- Tidak Bersedekah Saat Badan Sehat Dan Merasa Sayang Terhadap Harta

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ada seseorang yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا قَالَ « أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ ، تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى ، وَلاَ تُمْهِلُ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلاَنٍ كَذَا ، وَلِفُلاَنٍ كَذَا ، وَقَدْ كَانَ لِفُلاَنٍ »

“Wahai Rasulullah, sedekah yang mana yang lebih besar pahalanya?” Beliau menjawab, “Engkau bersedekah pada saat kamu masih sehat, saat kamu takut menjadi fakir, dan saat kamu berangan-angan menjadi kaya. Dan janganlah engkau menunda-nunda sedekah itu, hingga apabila nyawamu telah sampai di tenggorokan, kamu baru berkata, “Untuk si fulan sekian dan untuk fulan sekian, dan harta itu sudah menjadi hak si fulan.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1419 dan Muslim no. 1032).

Yang dimaksud keadaan sehat di sini adalah dalam keadaan tidak tertimpa sakit. Adapun pelit atau syahih yang dimaksud adalah pelit ditambah punya rasa tamak.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwa orang pelit itu ketika dalam keadaan sehat. Jika ia berbaik hati bersedekah dalam keadaan sehat seperti itu, maka terbuktilah akan benarnya niatnya dan besarnya pahala yang diperoleh. Hal ini berbeda dengan orang yang bersedekah saat menjelang akhir hayat atau sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup, maka sedekah ketika itu masih terasa kurang berbeda halnya ketika sehat. (Syarh Shahih Muslim, 7: 112)

Ibnul Munir menyampaikan bahwa ayat yang dibawakan oleh Imam Bukhari sebelum hadits di atas menunjukkan larangan menunda-nunda untuk berinfak dan supaya menjauhi panjang angan-angan. Juga di dalamnya diajarkan supaya bersegera dalam sedekah, jangan suka menunda-nunda. Dinukil dari Fathul Bari, 3: 285.

Ayat yang dibawakan adalah firman Allah,

وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian.” (QS. Al Munafiqun: 10).

Dan firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ

“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli” (QS. Al Baqarah: 254).

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits di atas mendorong supaya setiang orang berjuang melawan hawa nafsunya untuk mengeluarkan harta padahal ada sifat pelit dan tamak yang menghalangi. Ini yang menunjukkan bahwa sedekahnya benar-benar jujur dan kuatnya semangat orang yang melakukannya.” (Fathul Bari, 3: 285).

Kesalahan dalam Bersedekah

Ada lagi kesalahan lainnya dalam bersedekah, yaitu tidak membiasakan diri untuk mengeluarkan harta, bersedekah tanpa kerelaan hati, kikir terhadap diri sendiri, dan bersedekah dengan harta haram.

6- Tidak Membiasakan Diri Untuk Memberi

Kita pun sering merasakan bahwa sedekah dan berkorban dengan harta adalah dua hal yang terasa berat bagi jiwa. Sebab, hati kita tercipta dengan tabiat mencintai harta dan senang akan kenikmatan dunia.

Allah Ta’ala berfirman,

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآَبِ (14) قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَلِكُمْ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ (15) الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آَمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (16)

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 14-16)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa manusia itu dihiasi dirinya untuk mencintai syahwat dunia, terkhusus hal-hal yang disebutkan dalam ayat, itulah bentuk syahwat yang terbesar. Yang selain disebutkan di atas itu mengikutinya. Demikian kata beliau ketika menafsirkan ayat di atas.

Kenginginan dan syahwat terhadap dunia di atas yang harus dikuasai dan dikendalikan. Jadi bukan emosi dan keinginan yang menguasai dirinya. Oleh karena itulah, sifat kikir diatasi dengan melatih jiwa untuk berkorban dan membiasakannya unutk bersikap pemurah. Sebab, kemuliaan hanya diraih dengan kedermawanan dan kemurahan hati untuk memberi. Barangsiapa tidak mendidik jiwanya untuk berkorban dan berjiwa pemurah, maka berderma bukan perkara ringan baginya, ia tidak akan bisa bersedekah dengan mudah dan tanpa beban.


7- Bersedekah Tanpa Kerelaan Hati

Niat adalah tiang amal. Di antara sebab tidak diterimanya suatu amalan adalah karena mengeluarkan harta tersebut dengan berat hati. Inilah yang terdapat pada orang munafik. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ

“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (QS. At Taubah: 54).

Allah Ta’ala telah mengabarkan bahwa Dia tidak akan menerima kecuali dari yang thoyyib (yang halal) dan dilakukan dengan kerelaan hati si pemberi. Oleh karenanya, Allah tidak menerima sedekah dan tidak menerima amalan dari orang yang melakukan seperti itu. Allah hanyalah menerima amalan dari orang yang bertakwa, yang melakukannya dengan kerelaan hati.


8- Bakhil (kikir) Terhadap Diri Sendiri

Allah Ta’ala berfirman,

هَا أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ

“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.” (QS. Muhammad: 38).

Apa yang disedekahkan oleh manusia hakekatnya adalah simpanan untuk mereka. Mereka akan mendapatkan harta itu lagi ketika mereka butuh. Jika seseorang bakhil (kikir), sejatinya mereka kikir terhadap diri mereka sendiri. Senyatanya mereka mengurangi simpanan mereka sendiri. Mereka menghalangi diri sendiri dengan menikmati harta tersebut.

Ingatlah,

وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا

“Dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.” (QS. Al Muzammil: 20).


9- Bersedekah Dengan Harta Haram

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik).” (HR. Muslim no. 1015). Yang dimaksud dengan Allah tidak menerima selain dari yang thoyyib (baik) telah disebutkan maknanya dalam hadits tentang sedekah. Juga dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَتَصَدَّقُ أَحَدٌ بِتَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ إِلاَّ أَخَذَهَا اللَّهُ بِيَمِينِهِ فَيُرَبِّيهَا كَمَا يُرَبِّى أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ قَلُوصَهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ أَوْ أَعْظَمَ

“Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014).

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah bersedekah dengan harta haram. Intinya, jika dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224). Ghulul yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya yang telah disebutkan, “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014). Lihat bahasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 92-93.

[Cerkiis.blogspot.com, Disalin dari tulisan dengan judul: Kesalahan dalam Bersedekah (1), (2), dan (3). Penulis: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal]




Demikianlah Artikel Kesalahan dalam Bersedekah

Sekianlah artikel Kesalahan dalam Bersedekah kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Kesalahan dalam Bersedekah dengan alamat link https://kabarmuslimislam.blogspot.com/2017/05/kesalahan-dalam-bersedekah.html

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kesalahan dalam Bersedekah"

Posting Komentar