MENGUNDURKAN DIRI DALAM TRADISI PARTAI PKS (Kajian Historis dan Hukum)

MENGUNDURKAN DIRI DALAM TRADISI PARTAI PKS (Kajian Historis dan Hukum) - Hallo sahabat Kabar Muslim Islam, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul MENGUNDURKAN DIRI DALAM TRADISI PARTAI PKS (Kajian Historis dan Hukum), kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, Artikel Fenomena, Artikel Indonesia, Artikel Islam, Artikel Islami, Artikel Kabar, Artikel Muslim, Artikel Politik, Artikel Portal Piyungan, Artikel Ragam, Artikel Unik, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : MENGUNDURKAN DIRI DALAM TRADISI PARTAI PKS (Kajian Historis dan Hukum)
link : MENGUNDURKAN DIRI DALAM TRADISI PARTAI PKS (Kajian Historis dan Hukum)

Baca juga


MENGUNDURKAN DIRI DALAM TRADISI PARTAI PKS (Kajian Historis dan Hukum)


MENGUNDURKAN DIRI
DALAM TRADISI PARTAI PKS
(Kajian Historis dan Hukum)

Oleh: IBNU SULAIMAN SH, M.Hum
(Praktisi Hukum)

Pendahuluan

Ada 2 kejadian menarik yang belakangan dalam tubuh PKS sering menjadi tema pembahasan; pertama perihal perintah mengundurkan diri kepada Fahri Hamzah oleh ketua Majelis Syuro Salim Aljufri yang tidak ditaati dan kedua, penantian Mohamad Sohibul Iman (MSI) bahwa ia tidaklah akan mengundurkan diri dari merangkap jabatan sampai disuruh oleh ketua Majelis Syuro. Hal yang kedua ini disampaikan oleh MSI di depan kader Bali.

Sejarah Pengunduran Diri di PKS

Pengunduran diri dalam tradisi PKS sudah terjadi sejak lama. Biasanya ini dikaitkan dengan rangkap jabatan atau promosi. Jika seseorang mendapatkan promosi maka ia mengundurkan diri dari jabatan sebelumnya apalagi yang di dalamnya mengandung unsur jabatan publik. Maka biasanya jabatan partai ditinggalkan.

Hal ini pernah terjadi dengan Presiden Ke-1 Nurmahmudi Ismail ketika menjadi Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) dalam masa Presiden Abdurrahman Wahid. Selanjutnya Presiden ke-2 Hidayat Nurwahid juga mengundurkan diri (dari jabatan Presiden PKS) sewaktu menjadi Ketua MPR dalam masa Presiden SBY yang pertama (SBY-JK).

Presiden ke-3 Tifatul Sembiring juga mengundurkan diri setelah mendapat jabatan sebagai Menkominfo dalam kabinet SBY-Boediono. Namun, saat itu beliau diganti oleh Luthfi Hasan Ishak sebagai Presiden ke-4 yang kemudian tidak mengundurkan diri dari jabatan anggota DPR.

Hal inilah yang patut disayangkan karena akhirnya rangkap jabatan inilah yang mempersempit ruang gerak Presiden partai dan akhirnya ditangkap karena dianggap terlibat korupsi. LHI jatuh di tengah jalan maka Presiden ke-5 diserahkan kepada Anis Matta yang kemudian mengundurkan diri dari keanggotaan dan jabatannya di DPR.

Anis Matta tahu misi besar menyelamatkan partai sehingga merangkap jabatan publik bisa mempersempit ruang gerak partai. Tetapi, setelah partai selamat terpilihlah Presiden ke-6 M. Sohibul Iman yang tidak mengundurkan diri menjadi anggota DPR dengan alasan tidak ada permintaan mundur kepadanya.

Ada juga catatan diberikan kepada jabatan baru di PKS yaitu Wakil Ketua Majelis Syuro di mana Hidayat Nurwahid juga tidak mengundurkan diri dari jabatan publik (wakil ketua MPR). Dalam kasus ini tetap ada potensi rangkap jabatan yang secara etis akan mendatangkan pertanyaan orang.

Kesamaan lain dari semua pengunduran diri yang ada adalah "mundurnya dari jabatan partai setelah mendapat amanah jabatan publik" dan "mundur dari jabatan publik setelah mendapat jabatan partai yang penting".

Kajian: Makna Mengundurkan Diri

Nampaknya, ada kesalahan memahami makna mengundurkan diri di PKS seolah mengundurkan diri adalah perintah orang lain. Padahal, kata "mengundurkan diri" artinya suatu tindakan yang dilakukan secara sadar oleh diri sendiri. Bukan karena paksaan atau perintah orang lain.

Kalaupun karena perintah orang lain, maka mengundrukan diri biasanya terjadi saat promosi (seorang mendapat amanah lain yang lebih penting) atau karena dianggap tidak etis jika merangkap jabatan.

Ada juga pengunduran diri yang kerap dilakukan melalui paksaan jika yang bersangkutan memiliki "cacat moral" yang apabila yang bersangkutan tidak mundur maka kemungkinan cacat moralnya terbuka dan berakibat pada Kemaslahatan bersama. Dalam hal ini ancama membuka kasus atau dipecat bisa jadi opsi.

Lebih daripada itu, dalam semua kasus mengundurkan diri hanya bisa dilakukan dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan karena pertanggungjawaban kembali kepada yang bersangkutan kecuali dalam kasus pengunduran diri dalam keadaan melakukan kesalahan dan pelanggaran. Dalam kasus terakhir ("cacat moral") maka paksaan dan ancaman pun bisa dilakukan apabila yang bersangkutan tidak mundur maka kasusnya bisa dibuka.

Kesimpulan

Dalam kajian inilah dapat disimpulkan bahwa:

1. Pengunduran diri adalah peristiwa individual yang datang dari dalam. Ia tidak bisa dipaksakan dari luar karena secara juridis mengandung unsur pertanggungjawaban personal.

2. Pengunduran diri dalam tradisi PKS biasanya dikaitkan dengan promosi dan adanya rangkap jabatan. Namun sekarang terdapat penyimpangan dalam kasus Presiden PKS Sohibul Iman dan Hidayat Nurwahid yang merangkap jabatan struktur.

3. Ada juga kasus tekanan dan permintaan dari luar untuk mengundurkan diri jika seseorang melakukan tindakan yang melanggar etika moral dan hukum yang berpotensi merusak citra dan wibawa partai. Dalam hal ini ancaman pun bisa dilakukan bahwa jika yang bersangkutan menolak mundur maka kasusnya akan dibuka atau dipecat.

4. Pengunduran dilakukan dari jabatan partai atau dari jabatan publik jika tugas berat partai diberikan.

Catatan Akhir: Terkait kasus Fahri Hamzah

Permintaan pengunduran diri kepada Fahri Hamzah tidak terkait dengan salah satu pola seperti di atas seperti yang sering terjadi dan menjadi tradisi PKS. Karena motif permintaan pengunduran diri bukan karena promosi, rangkap jabatan atau  karena yang bersangkutan memiliki cacat moral. Desakan kepada Fahri Hamzah lebih karena alasan lain yang sampai sekarang tidak diketahui.

Oleh sebab itu, secara yuridis pertanggungjawaban atas pengunduran diri tidak bisa dilakukan. Selain itu, Fahri Hamzah tidak merangkap jabatan struktural PKS bahkan sejak awal tidak diberikan jabatan sama sekali agar fokus sebagai pejabat publik.

Terkait posisi sebagai pejabat publik maka harus ada rasionalisasi kepada publik tentang pengunduran diri. Seseorang yang telah diberi amanah jabatan publik tidak boleh terkesan menganggap remeh dan abai atas penjelasan dan pertanggungjawaban kepada publik.

Maka, dalam kasus Fahri Hamzah tidak ada promosi, tidak ada rangkap jabatan dan tidak ada cacat moral.***




Demikianlah Artikel MENGUNDURKAN DIRI DALAM TRADISI PARTAI PKS (Kajian Historis dan Hukum)

Sekianlah artikel MENGUNDURKAN DIRI DALAM TRADISI PARTAI PKS (Kajian Historis dan Hukum) kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel MENGUNDURKAN DIRI DALAM TRADISI PARTAI PKS (Kajian Historis dan Hukum) dengan alamat link https://kabarmuslimislam.blogspot.com/2017/01/mengundurkan-diri-dalam-tradisi-partai.html

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MENGUNDURKAN DIRI DALAM TRADISI PARTAI PKS (Kajian Historis dan Hukum)"

Posting Komentar